Debat AEF – Mengapa Pengecualian Tidak Melayani Keberlanjutan di Indonesia


https://canopyplanet.org/tools/forestmapper/app/)

Peta resolusi rendah ini juga mengkategorikan sebagian besar dari wilayah Indonesia dan Malaysia sebagai AEF. Hal ini juga perlu dicatat bahwa ada kekurangan AEF secara umum sebagaimana didefinisikan oleh Canopy di Eropa atau negara OECD lainnya (lihat Peta 2)

Peta 2. Canopy AEF Global (sumber: https://canopyplanet.org/tools/forestmapper/app/)

Apakah artinya?

Berdasarkan interpretasinya, Canopy menunjukkan bahwa daerah yang mereka definisikan sebagai AEF merupakan sumber yang berisiko tinggi.  Akan tetapi, interpretasi ini menyimpulkan bahwa setiap sumber yang didapat dari daerah ekonomi yang berkembang seperti Sumatera, Indonesia secara inheren berisiko, yang tentunya mengabaikan realita dan perbedaan saat ini di lapangan. Sudah jelas bahwa mengikuti pendekatan atau prinsip pengecualian tidak mencerminkan kompleksitas berbagai lanskap dalam penggunaan berbagai lahan, hak masyarakat dan kebutuhan sosio-ekonomi suatu negara yang harus diakui dan seimbang dengan kebutuhan ekologis.

Meskipun kami mendukung pengembangan pemetaan dan perangkat lain yang dapat memandu dan memungkinkan pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia dan juga secara global, kami percaya alat ini hanya dapat menjadi efektif jika mereka:

  • Menyertakan analisis ilmiah yang terperinci dan kuat setelah dilakukan tahap peer review oleh ahli yang sebelumnya telah mendukung dalam pengembangan kebijakan, praktik dan hasil pengelolaan hutan berkelanjutan secara langsung di lapangan baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
  • Menggunakan resolusi spasial yang lebih tinggi guna meningkatkan ketepatan dan kredibilitas alat-alat.
  • Muncul dari proses konsultasi multi-stakeholder yang terbuka dan transparan.
  • Memiliki daya tarik yang luas dan dukungan yang kuat dari sertifikasi hutan global atau kerangka jaminan dan organisasi masyarakat sipil.

Dalam pandangan kami, alat-alat seperti Forest Mapper jika memenuhi kriteria-kriteria tersebut, akan dianggap kredibel, relevan, dan seimbang dalam penilaiannya terhadap Indonesia, Malaysia serta daerah-daerah lain sebagai produsen viscose berkelanjutan maupun produsen komoditas lainnya.

APRIL mengakui bahwa melindungi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia adalah hal yang sangat penting dan oleh karena itu telah membuat komitmen khusus untuk melindungi daerah-daerah tersebut sebagai bagian dari kebijakannya. Perlindungan tersebut juga membentuk dasar Kerangka Kerja Pengelolaan Konservasi APRIL di lanskap hutan tanaman industri serta komitmennya untuk merestorasi dan menkonservasikan 150.000 hektar hutan lahan gambut ekologis penting sebagai bagian dari program Restorasi Ekosistem Riau. Inisiatif ini menunjukkan kepada para pemangku kepentingan dan kepada Canopy bahwa APRIL memang ‘melakukan proses perencanaan konservasi yang kuat’ dan bahwa perusahaan mengambil kewajiban konservasi secara serius.

Sumber Data Pemetaan:

  1. Tiger Distribution (Wildlife Cons. Soc, WWF, Smithsonian Inst. Save the Tiger Fund, 2017);
  2. Elephant Distribution (WWF via The Guardian, 2012);
  3. Biodiversity Hotspots (Conservation Intl, 2011);
  4. Mammal Species Richness (Biod. Map Org, 2013);
  5. Threatened Mammals (Biod. Map Org, 2013);
  6. Bird Species Richness (Biod. Map Org, 2013);
  7. Threatened Birds (Biod. Map Org, 2013);
  8. Soil Carbon Density (WRI, 2017)
  9. Forest Carbon Density (various, 2016)

Referensi

http://canopyplanet.org/wp-content/uploads/2015/03/Wye-EF-Report.pdf
Canopy Ancient and Endangered Forest: https://canopyplanet.org/solutions/ancient-forest-friendly/ancient-forest-friendly-defined/
Intact Forest Landscapes: http://www.intactforests.org/index.html


Sebelumnya
Berikutnya

Arsip