Ekonomi dan Pengelolaan  Lingkungan: Neil Byron, Anggota Komite Penasihat Pemangku Kepentingan APRIL


Komite Penasihat Pemangku Kepentingan  (SAC) APRIL, percaya bahwa ekonomi berperan penting dalam menjamin masa depan yang ramah lingkungan dan kehidupan sosial yang seimbang

Pada tahun 1973, seorang ekonom Inggris kelahiran Jerman, E.F. Schumacher menerbitkan buku yang dianggap oleh The Times Literary Supplement, sebagai ‘salah satu dari 100 buku paling berpengaruh sejak Perang Dunia II’. Berjudul ‘Small is Beautiful – A Study of Economics as if People Mattered’. Schumacher  mengubah pemahaman sebelumnya tentang konsep ekonomi,   bahwa ‘sesuatu yang besar berarti lebih baik’ serta asumsi bahwa ekonomi hanyalah pelengkap dari perdagangan. Ia membentuk suatu gerakan yang dinamakan “Teknologi Tepat Guna”.

Bagi Neil Byron muda, hal ini   membuka wawasan pemikirannya, yang pada akhirnya mempengaruhi carannya memandang dunia  . Ia mengatakan bahwa, “Saya adalah seorang ahli ekonomi antroposentris; Saya melihat ekonomi sebagai pemanfaatan sumber daya secara bijaksana untuk kepentingan masyarakat. Artinya, mengelola dan berinvestasi terhadap sumber daya manusia dan alam adalah penting, tidak hanya semata-mata tentang aset keuangan dan efisiensi penggunaan barang.”

Neil Byron, Anggota Komite Penasihat Pemangku Kepentingan APRIL

Byron menceritakan tentang masa kecilnya di pedesaan Queensland sebagai “sangat indah” – berlarian menyusuri semak belukar bersama saudara-saudaranya. menghabiskan masa muda menyusuri alam pun mempengaruhi pilihan karirnya di masa depan.

Saat itu, Ia tidak menyadari akan ada suatu karir di bidang “Kehutanan” hingga pada akhirnya Ia diberikan tawaran beasiswa untuk mempelajari  ilmu tersebut di tingkat perguruan tinggi. Setelah menyelesaikan gelar Sarjana  bidang kehutanan di Australian National University, ia bekerja dengan Dinas Kehutanan Queensland selama dua tahun. Minatnya di bidang ekonomi dan kebijakan – terdorong dan terinspirasi oleh visi Schumacher –  mengawali suatu perubahan besar dalam hidup Byron dan membuatnya pindah 7.500 mil ke Vancouver untuk mengambil gelar Pasca Sarjana, dilanjutkan dengan gelar Phd di bidang sumber daya dan ekonomi lingkungan dari Universitas British Columbia.

“Sebagaian orang menganggap saya sebagai pengawas hutan tropis, tetapi kenyataannya, yang saya lakukan selama beberapa dekade ini bukanlah demikian,” ungkapnya. “Saya sudah lama menganggap diri saya sebagai seorang ekonom, meskipun fokus utama saya adalah dalam kegiatan bersifat investasi di bidang sosial dan alam. Sekembalinya saya ke Australia, saya mengajar di universitas yang merupakan almamater selama tiga tahun, menjalankan unit penelitian di bidang ekonomi kehutanan bersama pemerintah Australia. Ini mencerminkan pemahaman bahwa ekonomi berlaku bagi masyarakat dan juga alam.”

“Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an terjadi perubahan besar dalam pengembangan sumber daya di Australia,” ucapnya. “Ini adalah awal  dari kesadaran lingkungan secara global sehingga kami mulai bertanya terhadap diri sendiri, mengapa kami menggali lubang besar untuk mengambil mineral, dan mengapa kami terlibat dalam penebangan hutan berskala besar? Muncul suatu gagasan yang menakutkan yaitu untuk melakukan penambangan batu kapur berlokasi di Great Barrier Reef. Ketika saya memberi tahu masyarakat pada tahun 1977 bahwa saya memiliki gelar PhD dalam ekonomi lingkungan, mereka tidak percaya  – namun kini, banyak perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia mempelajarinya.”

Pada tahun 1982, Byron pergi ke Bangladesh untuk bekerja di UNDP di mana ia menghabiskan empat tahun membantu mengembangkan mata pencaharian masyarakat berdasarkan sumber daya alam, ‘dari peternakan itik hingga hutan kemasyarakatan’. Minatnya yang tumbuh besar dalam aspek-aspek sosial ekonomi membawanya mempelajari lebih lanjut tentang ilmu antropologi. Meskipun tidak ia selesaikan,  studi-studi ini memberikan nilai tambah pada karya berikutnya tentang pembangunan pedesaan di seluruh Asia dan Selatan Pasifik, termasuk diantaranya selama lima tahun ditunjuk sebagai Asisten Direktur Jenderal untuk CIFOR, yang berbasis di Indonesia.

Sangat jelas bahwa karier Byron mengikuti semangat kebangkitan lingkungan melalui lensa ekonomi. “Wawasan ekonomi dapat diterapkan pada semua sumber daya alam dan permasalahanya – atmosfer, daerah aliran sungai, mata pencaharian dan kemiskinan, degradasi lahan, mineral, minyak, dan tentu saja hutan. Saya melihat ekonomi lingkungan sebagai seni untuk mendapatkan sebanyak mungkin manfaat bagi manusia tanpa merusak ekosistem yang merupakan sumber daya paling dasar untuk kita. Modal alam sama pentingnya dengan modal manusia dan keuangan. Ini adalah tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara bijaksana. ”

Byron menempatkan dirinya sebagai ahli sumber daya alam, pembuat kebijakan, dan seorang environmentalist. Byron menghabiskan 12 tahun sebagai Komisaris yang mengawasi lingkungan, pertanian, dan sumber daya alam di bawah Australian Productivity Commission. Ia memimpin 26 diskusi publik dan mengawasi Komisi program ekonomi lingkungan. Pada tahun 2011, ia kembali ke dunia akademis sebagai Asisten Profesor Ekonomi Lingkungan di Institut Ekologi Terapan Universitas Canberra. Dia diminta untuk memimpin tinjauan independen terhadap legislasi keanekaragaman hayati di New South Wales, yang menyebabkan pencabutan akumulasi undang-undang yang dianggap tidak efektif dan penyusunan Undang-undang Konservasi Keanekaragaman Hayati yang baru.

Ketika ditanya apakah ada tema yang menentukan  karya-karya yang ia ciptakan, ia mengatakan, “Mengelola lingkungan seolah-olah manusia dan ekosistem sama pentingnya. Beberapa ahli lingkungan datang dari sudut pandang sains konservasi dan melihat hubungan masyarakat dan ekonomi sebagai tidak relevan atau ‘musuh’. Saya berbeda. Saya melihat hal-hal dari posisi sosial ekonomi sekaligus menyadari bahwa lingkungan sehat yang kuat sangat penting untuk kesejahteraan manusia (dan sebaliknya). Triknya adalah bagaimana mendapatkan keseimbangan yang tepat. Pengelolaan lingkungan yang dianggap berhasil itu beraneka ragam. Saya pikir tidak mungkin untuk ‘melestarikan’ alam tanpa adanya campur tangan manusia kecuali orang lokal benar-benar menginginkannya. Saya pikir kita harus ‘berhati-hati melangkah‘ dan memperlakukannya dengan bijaksana’. ”

Byron juga memiliki pandangan tentang peran perusahaan besar   dalam memperlakukan Bumi secara bijak. “Saya telah melihat kehancuran   yang dilakukan oleh penambang tradisional, melakukan lebih banyak kerusakan daripada perusahaan multinasional besar. Ini terjadi di Asia Tenggara, Afrika Barat, Amazon. Ketika kemiskinan – keputusasaan – adalah suatu endemik maka alam  dinilai sebagai sumber daya untuk dieksploitasi. Dan dalam kasus ini, dijarah. Di Vietnam, Indonesia, dan Filipina, sekutu terkuat lingkungan saat ini adalah pengusaha  . Saya telah melihatnya bekerja. Saya ingat perdebatan di CIFOR tentang penebangan liar dan fakta bahwa jika jalan dibangun, hutan akan habis ditebang dalam waktu singkat. Seorang kolega Malaysia menganggap ini omong kosong,  . Saya menunjukkan bahwa Malaysia memiliki tingkat pengangguran perkotaan yang jauh lebih tinggi daripada Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, di mana pengangguran – dan kekurangan pekerjaan – dapat mencapai 35 persen atau lebih. ”

‘Selama krisis keuangan di tahun 2008, 8 juta orang pindah dari Manila dan mulai membuka hutan untuk menanam tanaman makanan, atau memancing di sepanjang garis pantai. Mereka tidak punya pilihan. Pekerjaan yang sulit, ilegal, berbahaya, dan dibayar rendah di hutan adalah satu-satunya cara untuk mendukung rumah tangga ketika pekerjaan formal tidak dapat menawarkan penghidupan yang layak.

Kepercayaan Byron sejak kecil adalah bahwa setiap orang, tanpa memandang ras, kekayaan agama, dll memiliki peluang dan kewajiban untuk melakukan apa pun yang mereka bisa untuk membuat   dunia menjadi tempat yang lebih baik – bukan seluruh dunia tetapi mulai di lingkungan, keluarga , komunitas dan berkembanglah dari sana.

Byron memandang masa depan dengan penuh optimisme, asalkan kita semakin cerdas dalam melihat hubungan antara masyarakat, bisnis, dan sumber daya alam. “Belum semua bisnis besar melakukan hal yang baik, tetapi semakin banyak yang melakukannya karena mereka berada di bawah pengawasan terus menerus. Selain itu, lantangnya kebijakan publik yang mendorong peningkatan ekonomi masyarakat, dan kebijakan yang kuat tentang langkah-langkah perlindungan lingkungan, akan membuka lebih banyak peluang dalam ‘mengelola alam dimana lingkungan dan manusia berperan sama pentingnya.”

 


Sebelumnya
Berikutnya

Arsip