Profil: Jeff Sayer, Komite Penasehat Pemangku Kepentingan (SAC) APRIL


Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC)  APRIL, percaya bahwa kesuksesan upaya konservasi berkaitan erat dengan keadaan ekonomi masyarakat di sekitar bentang alam tersebut.

London pasca perang bukanlah tempat yang ideal untuk seseorang yang kemudian menghabiskan hidupnya berkecimpung di bidang keberlanjutan sosial dan lingkungan. Jeff Sayer lahir di daerah Epping, salah satu hutan tertua di Inggris. Dia menghabiskan masa kecilnya layaknya anak-anak lainnya – memanjat pohon, berpetualang – dan mendalami ketertarikannya pada alam.

“Saya cenderung tidak memilih lingkungan perkotaan,” katanya. “Ketika saya masih muda, hampir semua orang di bagian luar London memiliki kerabat yang tinggal di pedesaan. Maka, disaat saya sedang tidak menjelajahi hutan Epping, saya berada di peternakan dan ladang didaerah Norfolk dimana keluarga saya berasal. Saya juga melihat bagaimana hutan tumbuh kembali diiringi dengan kembalinya satwa liar pada lokasi bekas pengeboman dan area militer yang telah ditinggalkan.”

Sayer mempelajari ilmu botani dan ilmu hewan di Hull University, dan kemudian menempuh pendidikan S2 dibidang konservasi di University College London. Di sinilah ia bertemu dengan beberapa pakar terbaik konservasi – John Morton Boyd, Max Nicholson, Dudley Stamp, Peter Scott, dan David Attenborough yang legendaris. Orang-orang ini, dalam banyak hal, adalah pelopor gerakan keberlanjutan.

Pada usia 22 tahun, saat berkemah di daerah Dartmoor dalam rangka riset untuk gelar Master, dia melamar untuk pekerjaan yang mensyaratkan seseorang berusia diatas 27 tahun dengan gelar PhD. Melalui layanan pos Inggris, dia menerima telegram yang mengabarkan bahwa bila Sayer dapat segera berangkat ke Zambia, dia medapatkan pekerjaan tersebut.

Jeff Sayer

Sayer menghabiskan tiga tahun di sana, melakukan pekerjaan terkait interaksi satwa liar dan konservasi. Kemudian dia pindah ke Mali, di mana dia mulai bekerja untuk membangun sistem kawasan lindung, sebuah bidang yang kemudian menjadi pekerjaan utamanya di berbagai  negara selama beberapa dekade berikutnya.

“Menurut saya, pengalaman di sanalah yang menyebabkan saya mengalami perubahan cara pandang. Ada kekeringan katastropik di Sahel saat itu. Kami dihadapkan pada tragedi orang yang mati kelaparan di bentang alam yang sama di mana kami mencoba untuk melestarikan satwa liar Sahel yang sangat luar biasa. Saya merasa sangat yakin bahwa keberlanjutan harus dilihat secara keseluruhan. Di mana-mana ada kebutuhan mendesak untuk melestarikan alam, ada juga kemiskinan dan tekanan sosial. Mereka harus ditangani secara bersamaan. Di Benin, misalnya, saya diberi anggaran untuk membeli peralatan berat untuk membangun jalan taman nasional. Saya menggunakan anggaran tersebut untuk penduduk desa. Mereka yang melakukan pekerjaan, mendapatkan penghasilan, dan terlibat secara aktif.”

Sayer adalah seorang pengembara. Dia telah hidup dan bekerja di seluruh dunia, sering dalam situasi yang sangat menantang, tetapi selalu menghubungkan tantangan yang dialami manusia dan kondisi lingkungan. Dia pernah bekerja dengan suku perbukitan di Thailand dan Burma, dan telah melakukan perjalanan di seluruh Amazon, Kongo, dan tentu saja di Indonesia. Di Afghanistan, saat bekerja di kawasan lindung, terjadi perang. “Di sana kami bekerja untuk melestarikan satwa liar, sementara MiG meraung di udara dan peluru menembus jendela kantor kami”

Komitmennya terhadap lanskap alam dan social yang dalam keyakinannya, tidak terpisahkan, juga terlepas dari berbagai resiko, untuk memahami dan melakukan konservasi, seseorang harus bekerja aktif dilapangan. Sepanjang karirnya, ia terus berkomunikasi dengan World Wildlife Fund (WWF) dan International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Ketika bekerja di Myanmar bagian utara, ia mendapat info bahwa IUCN membutuhkan seseorang untuk memulai program hutan tropisnya. Hal ini dilihatnya sebagai peluang penting untuk terlibat dalam topik konservasi hutan dunia. Sayer kemudian pindah ke Swiss, dimana ia memimpin tim yang menyusun berbagai peta detil dari ketiga daerah utaman hutan tropis dunia.

Satu dekade kemudian, ia memiliki kesempatan untuk menerapkan teori konservasi terpadu pada tahap yang lebih luas, ketika CIFOR memintanya untuk menjadi Direktur Jenderal di Indonesia. Pada saat itu, pelaksanaan pendekatan terpadu untuk isu-isu sosial dan biologi pada sektor kehutanan dipandang sebagai langkah yang inovatif. Sayer membentuk tim yang terdiri dari anggota dengan disiplin ilmu berbeda-beda, dan bersama-sama mengubah cara pandang  memahami permasalahan hutan. Selama sepuluh tahun berikutnya, pekerjaannya terkait interaksi manusia/hutan, mengerahkan sejumlah pakar, dari antropolog hingga ekonom. “Saya bisa memilih orang-orang terbaik di dunia untuk mencapai tujuan kami. Kami memiliki tim yang ideal”.

Sayer aktif dalam penyusunan pedoman pertama untuk pengembangan lahan di Indonesia, yang diadopsi menjadi kebijakan publik Indonesia. Pada saat bersamaan, dia juga mulai mengemukakan tentang efek negatif dari pengembangan lahan gambut.

Sayer bergabung dengan Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) APRIL pada saat kelompok ini dibentuk, membawa pengalamannya terkait interaksi manusia/ bentang alam ke dalam pelbagai diskusi. “Ada beberapa bentang alam penting dan Kampar adalah salah satunya. Masa depan bentang alam macam ini berada ditangan generasi muda serta pihak swasta yang berpikiran maju. Adalah bagian dari tugas saya untuk senantiasa membawa generasi muda yang cerdas dan berpendidikan tinggi ke berbagai bentang alam ini sebagai bagian dari pendidikan S2 atau S3 nya agar dapat mereka lihat dan alami secara langsung. Merekalah yang akan menjadi para pemimpin konservasi masa depan.

Saat ini, ia tinggal dan bekerja di Cairns, Australia, melanjutkan peran gandanya sebagai seorang akademisi (Profesor Praktik Pembangunan di James Cook University) dan pekerja lingkungan. Dualitas ini terlihat dalam banyak pekerjaan yang telah dia selesaikan – CEO CIFOR, Senior Associate di WWF, Penasihat Senior untuk Bank Dunia, Senior Fellow IUCN, Profesor International Nature Conservation di Universitas Utrecht, dan dosen tamu di sejumlah universitas di penjuru dunia.

Pada tahun 2018, ia dan istrinya, Intu Boedhihartono, seorang antropolog Indonesia yang memiliki minat yang sama untuk “bekerja secara nyata”, pindah ke Kanada, di mana Sayer  menjadi Profesor di Departemen Ilmu Hutan dan Konservasi Universitas British Columbia.

Pandangannya tentang pendekatan masa mendatang untuk konservasi berakar dalam filsafatnya bahwa pembangunan ekonomi adalah bagian dari, dan bukan halangan, kesuksesan.

“LSM membawa perhatian pada permasalahan dan itu adalah hal yang baik. Tetapi para konservasionis yang menentang pembangunan tidak melihat permasalahan secara utuh. Terdapat perkembangan ekonomi yang luar biasa, dan tentu saja, beberapa di antaranya telah menyebabkan masalah;

Tetapi kenyataannya adalah populasi yang berkembang pesat dengan lebih dari 260 juta orang membutuhkan pemerintahan yang stabil, akses ke fasilitas kesehatan, pendidikan, upah yang layak, dan perlakuan yang adil. Melalui hal-hal ini, diupayakan dukungan terhadap pentingnya  konservasi lingkungan. Ini adalah tanggung jawab banyak pihak – pemerintah, swasta, LSM, kelompok masyarakat, akademisi dan ilmuwan. Intinya adalah kita tidak dapat memilih satu dan meniadakan hal lainnya. Upaya konservasi yang sukses terkait erat dengan pertumbuhan dan kestabilan ekonomi. Kedua hal ini bukan dua hal yang saling bertentangan” kata Sayer.


Sebelumnya
Berikutnya

Arsip